Halaman

Selasa, 22 Mei 2012

Kisah Hidup CR7 Part 1


SOROT: "Dia Tak Pernah Melepas Bola - Dia Tidur Dengan Bola" - Kisah Sederhana Awal Karier Cristiano Ronaldo Di Madeira

Dimulai hari ini, GOAL.com menerbitkan kupasan buku "Ronaldo: The Obsession for Perfection". Bagian pertama menggambarkan hidup sang bintang di Madeira.

Di ujung jalan tempat si pemain sepakbola itu tinggal, terdapat sebuah halaman kosong yang dipenuhi semak belukar, lapangan sepakbola 5-a-side, dan sebuah bar. Bukan hal yang janggal ada fans yang jauh-jauh datang ke sini dan untuk sedikit euro supir taksi bersedia memberikan tur kecil ke tempat dia lahir, dibesarkan, bersekolak, kali pertama bermain sepakbola. Dalam bayangan kolektif masyarakat Portugal dia sosok yang menarik minat pengunjung ke Madeira selayaknya Winston Churchill, Ratu Elisabeth Sissi dari Austria, Raja Charles I dari Austria, George Bernard Shaw, penulis puisi Rilke, Christopher Columbus, dan Napoleon.

Madeira adalah sebuah gugus pulau di Samudera Atlantis yang berjarak 860 kilometer dari Lisbon, terdiri dari dua pulau berpenghuni, Madeira dan Porto Santo, dan tiga pulau kecil tak berpenghuni. Kepulauan ini dipuji sebagai "taman Atlantis" dan terletak di atas batu vulkanik sepanjang 57 kilometer dan selebar 22 kilometer. Pegunungan menjulang dengan ketinggian 1.862 meter dengan puncak tertinggi Pico Ruivo. Ibuota kepulauan, Funchal, berpopulasi 110 ribu jiwa.

Di tempat ini lah Cristiano lahir, pada pukul 10:20 Selasa 5 Februari di Rumah Sakit Cruz de Carvalho. Panjangnya 52 centimeter saat lahir dan beratnya hampir empat kilogram. Anak keempat pasangan Maria Dolores dos Santos dan Jose Dinis Aveiro, adik dari Hugo, Elma, dan Katia. Kehamilan Dolores tidak direncanakan dan hanya berselang 18 bulan dari Katia. Sekarang, muncul masalah dalam pemberian nama.

"Adik saya, yang sedang bekerja di panti asuhan saat itu, bilang kalau dia laki-laki kami bisa memberinya nama Cristiano," kenang Dolores. "Saya pikir itu pilihan bagus. Saya dan suami menyukai nama Ronaldo, sesuai dengan Ronald Reagan. Adik saya memilih Cristiano dan kami Ronaldo."
Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro dibaptis di gereja Santo Antonio tepat pada hari terjadinya pertandingan sepakbola. Di waktu senggang, Jose Dinis bekerja sebagai petugas perlengkapan untuk klub amatir CF Andorinha di Santo Antonio. Dia meminta kapten tim Fernao Barros Sousa untuk menjadi ayah baptis bayinya yang baru lahir. Seremoni direncanakan pukul 6 petang, setelah pertandingan Andorinha melawan Ribeiras Bravas pukul 4 sore.

Pendeta Antonio Rodriguez Rebola mulai gugup. Dia sudah selesai membaptis anak-anak lainnya dan belum ada tanda-tanda kehadiran ayah maupun ayah baptisnya. Dolores dan calon ibu baptis mulai mengelilinginya mencoba menenangkan pendeta. Akhirnya Fernao dan Dinis tiba, setengah jam terlambat, dan akhirnya seremonis bisa dilakukan.

Foto-foto pertama di album keluarga menunjukkan bayi Cristiano, dengan mata lebar menatap tepat ke arah kamera, mengenakan baju berwarna biru dan putih serta sepatu putih, dengan gelang emas di kedua pergelangan tangan, cincin emas, dan rantai salib panjang di lehernya. Begitu tumbuh besar, foto-foto memperlihatkan rambutnya menjadi sedikit ikal dan senyumnya "bolong" karena gigi depannya menghilang.

Dinis seorang tukang kebun di balai kota, sedangkan Dolores bekerja keras sebagai juru masak sehingga dia bisa memberikan makanan kepada anak-anaknya. Seperti ribuan warga Portugal lain, Dolores pernah beremigrasi ke Prancis saat berusia 20 tahun untuk menghabiskan waktu membersihkan rumah selama tiga bulan. Sang suami tadinya berniat bergabung, tapi ketika dia gagal berangkat, sang istri pulang. Mereka sudah memiliki dua anak saat itu.


Hidup tidak mudah bagi keluarga Aveiro... Tapi hari ini, Cristiano mengenang masa kecilnya dengan penuh bahagia. Saat dua tiga tahun, bermain di halaman atau jalan Lombinho, dia menemukan sahabat terbaiknya, bola sepak


Hidup tidak mudah bagi keluarga Aveiro, sulit bagi siapa pun yang tinggal jauh dari industri hotel mewah yang mengerumuni kawasan pantai. Rumah kecil itu menampung enam orang anggota keluarga dan setiap kali badai menerjang, rumah bolong-bolong di banyak tempat. Dolores mengumpulkan batu bata dan mortir dari balai kota untuk mengatasi masalah itu.

Tapi hari ini, Cristiano mengenang masa kecilnya dengan penuh bahagia. Saat dua tiga tahun, bermain di halaman atau jalan Lombinho, dia menemukan sahabat terbaiknya, bola sepak.

"Suatu Natal saya memberinya mobil-mobilan dengan remote control, berpikiran itu akan digemarinya," kenang sang ayah baptis, Fernao Sousa, "tapi dia lebih memilih bermain dengan bola. Dia tidur dengan bola, tak pernah lepas dari sisinya. Selalu ada di tangannya, ke mana pun dia pergi, bola itu bersamanya."

Artikel gue copas dari Goal.com dan ini lengkapnya
 http://www.goal.com/id-ID/news/1571/fokus/2012/04/17/3040895/sorot-dia-tak-pernah-melepas-bola-dia-tidur-dengan-bola

Senin, 14 Mei 2012

The Miracle Of Istanbul

KILAS BALIK: Final Liga Champions 2005 - Liverpool Comeback Atas AC Milan Di Istanbul, 15 Menit Yang Mengejutkan Dunia

Final Liga Champions 2004/05 antara AC Milan dan Liverpool menyajikan mukjizat Istanbul yang tak terlupakan sepanjang zaman.


Champions League Final 2005 - Match Programme (Goal.com/Pauly)


25 Mei 2005
Stadion Olimpiade Kemal Ataturk, Istanbul
Wasit: Manuel Mejuto Gonzalez
Penonton: 70.024 orang

AC Milan 3-3 Liverpool
(2-3 adu penalti)
(Paolo Maldini 1', Hernan Crespo 38', 42';
Steven Gerrard 54', Vladimir Smicer 56', Xabi Alonso 60')

Milan
1- Dida
2- Cafu
3- Paolo Maldini
31- Jaap Stam
13- Alessandro Nesta
21- Andrea Pirlo
8- Gennaro Gattuso / 10- Rui Costa (112')
20- Clarence Seedorf / 27- Serginho (86')
22- Kaka
7- Andriy Shevchenko
11- Hernan Crespo / 15- Jon Dahl Tomasson (85')

Liverpool
1- Dudek
3- Steve Finnan / 16- Dietmar Hamann (46')
21- Djimi Traore
23- Jamie Carragher
4- Sami Hyypia
14- Xabi Alonso
10- Luis Garcia
6- John Arne Riise
8- Steven Gerrard
7- Harry Kewell / 11- Vladimir Smicer (23')
5- Milan Baros / 9- Djibril Cisse (85')

Dinding stadion Kemal Ataturk seperti setipis kertas. Dari kamar ganti Liverpool, sorak sorai pemain AC Milan di ruangan yang berbeda begitu jelas terdengar. Semua pemain Liverpool tertunduk lesu. Tak ada yang berani menegakkan kepala. Pada malam final Liga Champions 2004/05 itu, Milan memberikan pukulan telak kepada Liverpool. Milan mampu unggul 3-0 saat jeda. Bek veteran Paolo Maldini membuka keunggulan pada menit pertama pertandingan. Sebelum turun minum, Hernan Crespo menambahnya dengan dua gol. Awal yang sempurna.

Tak mau disetir kemurungan, Rafael Benitez menghimpun nafas dan berdiri di tengah para pemainnya. Sang manajer sadar, dia hanya punya waktu 15 menit untuk mengembalikan kepercayaan diri tim. Ketika berjalan dari bangku cadangan menuju ruang ganti, benak Benitez dipusingkan mencari-cari kalimat dalam bahasa Inggris yang tepat untuk "menghidupkan" para pemainnya. Kalimat yang kemudian meluncur dari mulutnya sederhana saja.

"Jangan tundukkan kepala kalian. Kita Liverpool. Kalian bermain untuk Liverpool. Jangan lupakan itu. Kalian harus tetap menegakkan kepala kalian untuk suporter. Kalian harus melakukkannya untuk mereka", serunya.

"Kalian tak pantas menyebut kalian pemain Liverpool kalau kepala kalian tertunduk. Kalau kita menciptakan beberapa peluang, kita berpeluang bangkit dalam pertandingan ini. Percaya lah kalian mampu melakukannya. Berikan kesempatan buat kalian sendiri untuk keluar sebagai pahlawan."

Sebelum tim keluar kamar ganti, Rafa menyusun skema formasi baru di papan tulis. Untuk menghambat Kaka, Rafa meminta Dietmar Hamann bersiap tampil menggantikan Djimi Traore. Namun, ketika diberitahu Steve Finnan mengalami cedera, Benitez memanggil kembali Traore yang sudah mencopot sepatu dan berjalan ke kamar mandi. Keputusan terakhir, Finnan keluar, Hamann masuk.

Rafa sadar, tak ada lagi ruginya mengorbankan seorang pemain bertahan. Liverpool bermain dengan tiga pemain belakang dan kapten Steven Gerrard didorong lebih ke depan. Liverpool memang harus bangkit, sekarang atau tidak sama sekali.

Inilah lima belas menit yang menentukan. Lima belas menit yang mengubah segalanya. Babak kedua menjadi milik Liverpool. Sembilan menit berjalan, Liverpool menyulut sumbu ledak stadion. Dalam rentang enam menit berikutnya, Liverpool ganti mengendalikan situasi. Steven Gerrard memberikan gol inspirasional lewat sundulan kepala menyongsong umpan John Arne Riise. Tak lama berselang, tendangan keras jarak jauh Vladimir Smicer tak dapat ditahan Dida. Belum lagi Milan menata diri, pada menit ke-60, Gerrard dijatuhkan di kotak penalti oleh Gennaro Gattuso. Penalti! Awalnya, eksekusi Xabi Alonso sempat ditahan Dida, tapi bola muntah langsung disambar Alonso.

Cerita belum selesai. Kedudukan 3-3 bertahan hingga 90 menit. Pertandingan diperpanjang hingga 30 menit, tapi tetap tak bisa menentukan pemenang. Juara Liga Champions musim itu pun harus diselesaikan melalui babak adu penalti.

Sebelum "babak perjudian" itu dimulai, Jamie Carragher datang menghampiri kiper Jerzy Dudek. Carra menyarankan Dudek agar melakukan "sesuatu" untuk mengacaukan konsentrasi pemain Milan. Dudek langsung teringat rekaman video yang pernah disaksikannya. Kaki spaghetti! Saat adu penalti final Piala Champions 1984 melawan AS Roma, pendahulu Dudek, Bruce Grobbelaar, memelintir-melintir kakinya. Entah memang berpengaruh atau tidak, Grobbelaar berhasil membawa Liverpool menang dan merebut Piala Champions.

Trik yang sama dipakai Dudek ketika Andriy Shevchenko bertugas sebagai eksekutor terakhir Milan. Terbukti, trik kuno itu berhasil. Eksekusi Sheva mengarah ke tengah gawang dan dengan sebelah tangan, Dudek menahannya. Liverpool pun merajai Eropa! Jerih payah fans Liverpool yang terus menggemuruhkan dukungan untuk klub kesayangan mereka terbayar sudah!

Mukjizat di Istanbul ini kemudian diabadikan dalam film Fifteen Minutes That Shook The World. Betapa tidak, final Liga Champions musim itu sangat dramatis dan membuktikan segalanya mungkin terjadi di lapangan sepakbola.

Steven Gerrard

Pascafinal Istanbul, hidup tak lagi sama. Tapi, hidup juga berjalan terus. Satu per satu figur pemain heroik, seperti Harry Kewell, Milan Baros, Djibril Cisse, Luis Garcia, Dudek, dan Smicer meninggalkan Anfield dan melanjutkan karir di klub baru.

Sebagian tetap tinggal, terutama Gerrard. Sang kapten sempat disebut-sebut akan hijrah ke Chelsea musim panas 2005 itu. Tapi, Istanbul mengubah segalanya.

"Bagaimana mungkin saya pindah setelah mengalami final seperti ini?" ujar Gerrard.

Arak-arakan bus dengan atap terbuka dan kerumunan satu juta orang, 300 ribu di antaranya memadati St George's Hall, suatu hari di Mei 2005, pasti takkan pernah dilupakan Liverpudlian sepanjang masa.

Copas by goal.com 

http://www.goal.com/id-ID/news/1364/liga-champions/2012/05/14/1890095/kilas-balik-final-liga-champions-2005-liverpool-comeback-atas-ac-